Cerita tentang Kamu yang Akhirnya Selesai
Ini bukan kali pertama aku menceritakan tentang orang yang sama, keraguan yang seringkali datang tiba-tiba, mengenai permainan ya-tidak yang saling beradu, perdebatan antara otak dan hati. Permasalahan tentang : too hard to let go, too hurt to hold on.
"Tegaslah pada hatimu sendiri, kamu berhak untuk bahagia"
"Baiklah, jawab saja pertanyaanku. Apakah kamu merasa dia peduli padamu?"
Aku terdiam, mengingat-ngingat apa saja yang mungkin bisa kuingat perihal 'kepeduliannya'. Dan tak kutemukan jawaban.
"Apa saja usahanya untukmu?"
Kali ini aku mematung. Masih berpikir. Sampai akhirnya, lagi-lagi aku bisa menjawab. Kurasa tak ada. Mungkin dia tidak peduli, dan tidak berniat untuk peduli, apalagi berusaha.
"Kamu sudah tahu jawabannya."
Aku tersenyum kecut. Sepertinya, sejak awal aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya menyangkalnya, berusaha bersembunyi di balik harapan yang kuhidupkan sendiri, berusaha membangun kemungkinan-kemungkinan yang membuatku tidak bisa berhenti menyudahi chapter panjang tentang dirinya. Karena sejujurnya, aku tidak ingin berhenti.
Ah, bukankah memang begitu. Ketika seseorang jatuh cinta, ia akan berusaha mencari pembenaran atas perasaannya.
Inilah yang tak kusuka dari jatuh cinta : menjadi bodoh karena cinta.
Dan perdebatan otak dengan hati pun masih terus berlanjut. Antara melepaskan atau memberi jeda waktu lebih lama, antara menyudahi atau berjuang untuk memulai. Sekali lagi.
Kali ini, kubiarkan otakku menang.
Hatiku melengos, membisikkan kekhawatiran dan kemungkinan-kemungkinan terbaik yang bisa kulewatkan jika aku memilih untuk berhenti.
Tapi tak apa. Aku memang harus lebih tegas pada hatiku.
You know, you can't blame her for walking away if you didn't do anything to make her stay.
.... and you let her go.
Jadisepertinya aku tidak menyesal dengan keputusan untuk memenangkan otakku.
Untuk Kak S, terima kasih untuk waktu dan percakapan malamnya yang menyadarkan :)
About Love
,
Love
,
Love and Its Pieces
,
Move On
"Tegaslah pada hatimu sendiri, kamu berhak untuk bahagia"
"Baiklah, jawab saja pertanyaanku. Apakah kamu merasa dia peduli padamu?"
Aku terdiam, mengingat-ngingat apa saja yang mungkin bisa kuingat perihal 'kepeduliannya'. Dan tak kutemukan jawaban.
"Apa saja usahanya untukmu?"
Kali ini aku mematung. Masih berpikir. Sampai akhirnya, lagi-lagi aku bisa menjawab. Kurasa tak ada. Mungkin dia tidak peduli, dan tidak berniat untuk peduli, apalagi berusaha.
"Kamu sudah tahu jawabannya."
Aku tersenyum kecut. Sepertinya, sejak awal aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya menyangkalnya, berusaha bersembunyi di balik harapan yang kuhidupkan sendiri, berusaha membangun kemungkinan-kemungkinan yang membuatku tidak bisa berhenti menyudahi chapter panjang tentang dirinya. Karena sejujurnya, aku tidak ingin berhenti.
Ah, bukankah memang begitu. Ketika seseorang jatuh cinta, ia akan berusaha mencari pembenaran atas perasaannya.
Inilah yang tak kusuka dari jatuh cinta : menjadi bodoh karena cinta.
Dan perdebatan otak dengan hati pun masih terus berlanjut. Antara melepaskan atau memberi jeda waktu lebih lama, antara menyudahi atau berjuang untuk memulai. Sekali lagi.
Kali ini, kubiarkan otakku menang.
Hatiku melengos, membisikkan kekhawatiran dan kemungkinan-kemungkinan terbaik yang bisa kulewatkan jika aku memilih untuk berhenti.
Tapi tak apa. Aku memang harus lebih tegas pada hatiku.
You know, you can't blame her for walking away if you didn't do anything to make her stay.
.... and you let her go.
Jadi
Untuk Kak S, terima kasih untuk waktu dan percakapan malamnya yang menyadarkan :)
0 comments:
Post a Comment