Tell Her How to Say Love
Dia memperhatikanmu. Bukan lewat pertanyaan 'sedang apa?' dan juga 'sudah makan atau belum?' Dia memperhatikanmu lewat cerita-ceritamu, lalu menyimpannya serapi mungkin agar dia tidak pernah lupa.
Dia peduli padamu. Hanya saja dia tidak pandai merangkai kata-kata manis saat kamu menceritakan sisi gelapmu. Lalu kamu berpikir dia tak memahamimu. Dia benar-benar peduli padamu, itu sebabnya dia mengatakan hal yang mungkin tidak ingin kamu dengar, karena itulah satu-satunya cara untuk membuatmu berpikir : hidupmu jauh lebih baik dibanding jutaan orang di luar sana.
Dia menikmati momen-momen bersamamu. Baginya, caramu membuatnya tertawa saja sudah lebih dari cukup. Ya, bahkan dia tertawa di depan ponselnya saat membaca text darimu. Hal yang lumayan jarang kulihat, karena biasanya dia hanya mengirim text dengan nada tawa. Padahal ekspresinya datar saja.
Apakah dia pernah bercerita padamu? Tentang apa yang muncul di pikirannya ketika mendengarkan lagu-lagu melankolis: Kamu. Tentang apa yang terlintas pertama kali ketika dia melihat Funko Pop: figur favoritmu. Dia bilang padaku, dia juga tidak tahu sejak kapan hal-hal kecil membuatnya teringat padamu.
Kamupun tahu dia baru saja belajar merelakan, karenanya dia tidak berharap terlalu banyak. Kemudian kamu membuatnya belajar untuk percaya lagi. Percaya kalau kamu bisa menyembuhkannya. Kalau kamu bisa membuatnya merasa baik-baik saja.
Dia menyukaimu. Namun, dia butuh waktu lebih untuk mencintai dirinya. Karna hanya dengan begitu dia dapat mencintaimu dengan tepat. Hanya dengan begitu dia tidak lagi mempertanyakan alasan kamu menyukainya. Hanya dengan begitu dia tidak perlu khawatir kamu akan pergi.
Tapi toh akhirnya kamu pergi juga.
Dan dia menghabiskan sepanjang malam menggangguku dengan cerita panjang tentang kamu. Dia bertanya, apakah itu adalah sebuah kesalahan: menurunkan pertahanan hatinya dan mempercayaimu (yang pada akhirnya kamupun pergi) atau sebuah anugrah karena telah membuatnya tahu bahwa kamu bukan orang yang cukup sabar untuk menghadapinya.
Tidak hanya itu saja, dia juga menodongku dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya, seperti: apakah dia terlalu tidak menunjukkan perasaannya sehingga kamu tidak bisa membacanya, ataukah dia selalu mengucapkan kalimat yang salah, apakah caranya memperhatikanmu terlalu tersirat sehingga tidak ketara dan lain sebagainya. Dia terlalu banyak bertanya hingga kadang aku heran, apakah dia lupa kalau aku ini bukan Tuhan.
Satu lagi, sejujurnya aku juga tidak tahu, apakah mesin mengatur ekspresinya sudah bobrok sehingga tidak bekerja dengan baik. Karena apapun yang dirasakannya selalu terlihat berbeda dengan yang ditunjukkannya. Terakhir kali, dia berkata padaku kalau dia ingin tetap berteman denganmu. Aku bilang itu tidak mungkin, karena akan sulit melihat orang yang membuatnya percaya kini adalah orang yang sama, yang membuatnya 'mempercayai' adalah hal yang sulit. Tapi dia bersikukuh. Tak apa katanya. Aku melihatnya membalas text mu dengan senyum dan kalimat-kalimat ceria. "Selamat" katanya. Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Aku tahu dia menahan rasa sakit itu sendiri.
Jadi lain kali, aku harap kamu bisa mengajarinya bagaimana menyampaikan perasaannya, atau barangkali membetulkan tuas pengatur ekspresinya, hingga dia tidak perlu merasakan kehilangan dan belajar merelakan lagi. Karna akupun lelah mendengar cerita patah hatinya.
0 comments:
Post a Comment